MAKNA, TUJUAN, DAN FALSAFAH POLITIK ISLAM TEORI PLATO, ARISTOTELES, DAN AL-FARABI
MAKNA, TUJUAN, DAN FALSAFAH POLITIK ISLAM
TEORI PLATO, ARISTOTELES, DAN
AL-FARABI
Disusun
Oleh:
|
NAMA
|
: Muhammad Yasir Abdad
|
|
KELAS
|
: H-Semester 1
|
|
NIM
|
: 20190510328
|
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN
INTERNASIONAL
Copyright @2019
MAKNA, TUJUAN, DAN FALSAFAH POLITIK ISLAM
TEORI PLATO, ARISTOTELES, DAN
AL-FARABI
Abstraksi
Oleh : Muhammad Yasir Abdad
NIM : 20190510328
Pembahasan mengenai “Politk” ibarat
air laut yang tak akan pernah surut. Tidak bisa dipungkiri bahwa politik sangat
berkaitan erat dengan adanya kekuasaan, sedangkan kekuasaan itu juga menjadi
hal yang sangat diidam-idamkan oleh manusia. Menjadi sebuah kewajaran bahwa
kajian terkait bidang politik menjadi sebuah dimensi yang menarik untuk
ditelisik lebih jauh. Di antara pembahsan yang memiliki point of interest salah satunya adalah teori-teori politik dari
berbagai tokoh yang sudah melegenda. Pembahasan yang sangat penting, karena
dari sini dapat diambil sebuah kesimpulan atau pertimbangan bagi segala teori
dan kegiatan politik era millennial
ini. Tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh dan melegenda itu antara lain adalah
Plato, Aristoteles dan al-Farabi yang kesemuanya memiliki teori-teori yang
sangat menarik. Pada garis besarnya ketiga tokoh tersebut memiliki paham yang
sama terkait dengan Negara yang memiliki faktor kebutuhan dari warga Negara dan
hanya dapat dicapai dengan adanya sebuah kerjasama politik.
Keywords: Politik Islam, Politik Klasik, Negara
A.
PENDAHULUAN
Manusia, adalah makhluk yang diciptakan oleh
Allah SWT dengan segala kesempurnaannya. Manusia hidup di tengah-tengah
komunitas masyarakat dari yang paling kecil (keluarga) hingga yang terbesar
(masyarakat dunia). Sebagai makhluk social yang mengisi berbagai dimensi
kehidupan, manusia tidak dapat hidup sendiri untuk memenuhi segala
keperluannya. Kehidupan bersama dalam sebuah komunitas masyarakat bergantung
pada interaksi sosial yang ada. Untuk efisiensi kerja dalam upaya mencapai
tujuan bersama dan untuk menjaga kelestarian hidup bersama, diperlukan kerja
berjamaah, dan untuk semuanya itu, diperlukan organisasi dengan segala
perangkatnya.[1]
Kepemimpinan atau kekuasaan menjadi faktor
penting dalam kehidupan bermasyarakat dan tentunya tidak lepas dari peranan
politik. Dalam pengertian umum, politik memang disebut sebagai metode
prlaksanaan kekuasaan dalam masyarakat atau Negara. Bahkan, masyarakat bias
dikatakan tidak bisa lepas dari keterkaitan dengan kelompok masyarakatnya atau
organisasinya, maka pembahasan mengenai pemegang otoritas kekuasaan menjadi
penting dan sangat menarik.
Namun di sisi lain pembahasan politik adalah
pemahaman dan perjalanan politik yang sangat dinamis mengikuti perkembangan
zaman. Menjadi sebuah kepastian, pengertian, dan penafsiran cakupan objek
pembahasan akan berubah-ubah sesuai perkembangan dari waktu ke waktu. Kemudian
pemikiran inilah yang mendasari penulis untuk mengkaji objek-objek yang
dimaksud dengan melakukan studi terhadap pemikiran tokoh-tokoh pemikir klasik
yaitu: Plato, Aristoteles dan Al-Farabi.
B.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Politik
Kata atau istilah “Politik” di dalam diksi
bahasa Indonesia diambil dari bahasa Inggris, yakni politic, yang secara harfiah bermakna (1) acting or juding wisely; prudent (2) well judged; prudent atau sikap bijaksana atau hati-hati dalam
bersikap, dan melakukan kebijaksanaan atau tindakan bijak.[2]
Kata tersebut juga bermakana The Art of
government atau tata pemerintahan/seni pemerintahan.[3]
Sedangkan aspek-aspek politik dapat juga diartikan sebagai segala hal yang
memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan kekuasaan dalam sebuah kelompok
masyarakat ataupun Negara.
Salah satu tokoh penting di Muhammadiyah,
Prof. Dr. H.M. Amin Rais mengatakan bahwa makna yang terdapat dalam kata “politik”
itu mencakup hal-hal yang bersinggungan dengan kekuasaan dan cara penggunaan
kekuasaan beserta proses pengelolaan pemerintahan di suatu Negara.[4]
Selain itu, dalam pengertian di kalangan
modern politik juga dapat diartikan
segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan kekuasaan dalam masyarakat
atau Negara.[5]
Pengertian yang serupa dengan hal tersebut Bertrand Russel menuliskan bahwa
hakekat pemerintah merupakan penggunaan kekuasaan yang sesuai dengan hokum dalam
rangka menyelamatkan tujuan-tujuan tertentu yang dianggap harus diambil oleh
para pemegang otoritas kekuasaan.[6]
Dari berbagai pengertian yang telah disebutkan
di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa politik memiliki keteraitan dengan
kekuasaan dan penggunaannya, baik di kelompok kecil dalam masyarakat hingga
hubungan internasional antar Negara-negara di dunia yang meliputi cara
kekuasaan diperoleh, pengelolaan aturan-aturan yang disepakati bersama dengan
masyarakat luas, dan pada kata yang paling sederhana adalah bahwa politik
merupakan sebuah ketatanegaraan karena dapat mencakup semua aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara.
2. Teori Politik Klasik
Pembahasan mengenai “Politk” ibarat air laut
yang tak akan pernah surut. Tidak bisa dipungkiri bahwa politik sangat
berkaitan erat dengan adanya kekuasaan, sedangkan kekuasaan itu juga menjadi
hal yang sangat diidam-idamkan oleh manusia. Menjadi sebuah kewajaran bahwa
kajian terkait bidang politik menjadi sebuah dimensi yang menarik untuk
ditelisik lebih jauh. Di antara pembahsan yang memiliki point of interest salah satunya adalah teori-teori politik dari
berbagai tokoh yang sudah melegenda. Berikut ini adalah teori politik klasik
yang disampaikan:
a. Plato
Plato
merupakan filsuf yang ahli di bidang matematika, pendiri Akademi Platonik di
Athena dan penulis Philosopical Dialogues.
Plato dilahirkan di Atena dari keluarga bangsawan pada tahun 427 SM, dan
meninggal di kota yang sama pada tahun 347 SM. Plato mulai menemukan dan
mendalami ilmu filsafat dari gurunya, Socrates (469-399 SM) dan mengabdikan
dirinya dengan melakukan pembelaan di
depan pengadilan ketika grunya tersebut terkena tuduhan bahwa ajaran
filsafatnya itu menyesatkan masyarakat. Pembelaan ini kemudian diabadikan
melalui sebuah buku yang mimiliki judul Pembelaan
Socrates.[7]
Plato
menyatakan bahwa Negara ideal merupakan sebuah etical community yang dapat
diwujudkan guna mencapai kebajikan dan kebaikan. Pada hakikatnya, Negara yang
ideal adalah keluarga dalam lingkup yang lebih luas “You are all brother in the city”.[8]
Plato
juga menyatakan bahwa sebuah Negara dibentuk oleh manusia yang memiliki
kebutuhan dan keinginan yang sangat banyak, dan hanya dapat dipenuhi melalui
kerjasama dan persatuan. Dengan demikian Negara dapat diartikan sebagai sistem pelayanan
yang mengikat warganya untuk saling bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan dan
mencapai sebuah peradaban yang maju.
b. Aristoteles
Aristoteles
dilahirkan di Stageira, Balkan pada tahun 384 SM dan meninggal di Kalkis pada
tahun 322 SM. Aristoteles adalah salah satu murid dari Plato dan guru dari
Alexandros atau iskandar Agung. Sejumlah pemikiran filsafat karyanya yang
banyak diulas oleh ara ahli adalah tentang logika, alam materi, psikologis,
fisika, dan kenegaraan.[9]
Negara
bagi Aristoteles diartikan sebagai lembaga yang harus ada untuk memenuhi
kebutuhan setiap warganya. Negara berkewajiban untuk mendidik warganya agar
dapat memiliki pendirian yang tetap dan berbudi pekerti yang baik. Bagi
Aristoteles Negara adalah lembaga politik yang paling berdauat. Kekuasaan
tertinggi yang dimiliki oleh Negara berfungsi untuk memberikan kesejahteraan
masyarakatnya. Negara dianggap berhasil apabila sudah sanggup mewujudkan fungsi
tersebut.
Aristoteles
selanjutnya menganggap ilmu politik menerima manusia apa adanya sebagaimana
dilahirkan oleh alam, bukan justru membentuk perilaku manusia. Berkaitan dengan
hal ini, kemudian Aristoteles menganggap
bahwa bentuk Negara ideal adalah kombinasi antara Aristrokrasi dan Demokrasi. [10]
c. Al-Farabi
Al-Farabi
lahir di Wajiz pada tahun 870 M dari keturunan Turki dan wafat di Aleppo 950M
pada usia 80 tahun. Beliau memiliki nama lengkap Abu Nasr Muhammad ibn Muhammad
Ibn Tarkhan ibn Uzlag, al-Farabi. Ia disebut sebagai pembangun pertama
pemikiran filsafat Islam karena kelengkapan bangunan ajaran dan pemikirannya di
bidang filsafat. Al-Farabi juga disebut sebagai “the second teacher” karena ahli di bidang logika setelah
Aristoteles.[11]
Pemikiran
politik Al-Farabi dituangkan dalam beberapa karyanya, yaitu Ara’ ahl al-madinat al-Fadilah dan Al-Siyasat al-Madaniyyah. Pada kedua
karya inilah, beliau menyampaikan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak bias hidup
sendiri dan memrlukan orang lain untuk
membantu kehidupannya. Mayarakat saling bahu-membahu menurut bidangnya
masing-masing, sebagaimana diibaratkan sebuah tubuh manusia, yang setiap
bidangnya memiliki fungsi yang berbeda-beda.[12]
Dalam
hal ini, setiap anggota masyarakat memiliki tugas yang berbeda-beda setiap
individunya, namun memiliki tujuan yang sama dan dikoordinasi oleh kepala Negara
untuk menciptakan hubungan yang baik
antar warga masyarakatnya dan antara masyarakat dengan Tuhan penciptanya.[13]
Disinilah terihat peran sentral yang dimiliki oleh kepala Negara. Dalam teori
ini, kepala disejajarkan dengan “hati” dan sistem kesatuan tubuh manusia, yang
dianggap sebagai organ yang paling penting dan sempurna.
Pentingnya
kepala Negara dalam teori al-Farabi, memberikan persyaratan yang sangat ketat
dalam menentukan kepala Negara. Al-Farabi dengan teorinya menyatakan bahwa yang
bias menjadi kepala Negara utamanya adalah seorang filsuf, karena memiliki
kecerdasan berpikir, adil, toleran, dan menjauhi kenikmatan hidup. Selanjutnya,
al-Farabi menyatakan bahwa dalam hal Negara yang tidak memiliki kepala Negara seperti
yang telah disebutkan, bias jadi Negara yang sedang dipimpin oleh kepala Negara
tersebut tidak membawa pada tujuan warganya.
Dari
teori ini dapat dtarik kesimpulan bahwa secara umum teori politik kenegaraan
yang dibawa oleh al-Farabi adalah pengembangan dari teori Plato. Namun
disesuaikan dengan era al-Farabi dan dimuat ajaran-ajaran Islam yang dianutnya.
Sehingga esensi politik menurut teori al-Farabi dan pandangan Islam dapat diartikan sebagai sebuah cara dalam
mengatur segala urusan rakyat yang berasas dari hukum-hukum Islam yang sudah
ditetapkan.
Ada hal yang menarik dari teori krtiga tokoh
diatas, yaitu 1) ketiganya menganggap bahwa Negara tercipta atas kebutuhan yang
ada pada warganya. 2) menempatkan kebahagiiaan sebagai unsur dan tujuan utama
dari dibentuknya sebuah Negara. Dan 3), menempatkan moral dan etika sebagai
tiang kenegaraan.
C.
KESIMPULAN
Kata atau istilah politik dalam bahasa Indonesia
diadopsi dari bahas Inggris yang memiliki arti segala hal yang memiliki sifat
keterkaitan dengan kekuasaan. Tiga tokoh yang berjasa dalam mengemukakan teori
di bidang kajian ilmu politik ini adalah Plato, Aristoteles, dan al-Farabi.
Ketiga tokoh tersebut memiliki pemahaman yang sama bawha Negara akan memiliki
fungsi yang baik apabila setiap warganya bersatu-padu dengan segala keahliannya
untuk berperan serta dalam membangun sebuah Negara.
Kemudian kepala Negara yang bijaksana untuk
mengatur warganya agar tercipta kemakmuran dan kebahagiaan bersama. Ketiga
tokoh tersebut sepaham untuk menempatkan factor etika, dan intelektualitas sebagai
tolok ukur dalam memilih kepala Negara.
Selanjutnya, ketiga filsuf tersebut memiliki
pandangan bahwa Negara demokrasi yang menjadi pedoman masyarakat dunia
kebanyakan di era modern ini ternyata tidak dianggap sebagai jalan yang baik,
bahkan dianggap sebagai sebuah ancaman bagi berdirinya Negara itu sendiri.
Namun pandangan ketiga tokoh tersebut disempurnakan oleh teori Al-Farabi dengan
konsep politik Islamnya yang dapat diartikan sebagai sebuah cara dalam mengatur
segala urusan rakyat yang berasas dari hukum-hukum Islam yang sudah ditetapkan.
Daftar Pustaka
Abdullah,
T. (2002). Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam Pemikiran dan Peradaban. Jakarta: Ichtiar Baru.
Poerwantana.dkk.
(1998). Seluk Beluk Filsafat Islam.
Bandung: Rosda Karya. Hartoko, D. (1995). Kamus
Populer Filsafat. Jakarta: Raja Graphindo Persada. Hoesin, O. A. (1975). Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hornby,
A. (1986). Oxford Advanced Learner's
Dictionary of Current English. New York: Oxford University Press.
Kartono,
K. (2002). Pemimpin dan Kepemimpinan.
Jakarta: Raja Graphindo Persada.
Poedjawijatna,
I. (1978). Pembimbing ke Arah Alam
Filsafat. Jakarta: Pembangunan.
Rais,
M. A. (1987). Cakrawala Islam Antara Cita
dan Fakta. Bandung: Mizan. Rapar, J. (1998). Filsafat Politik Plato. Jakarta: Rajawali.
Ruslan.
(2005). Perjumpaan Sains-Agama dan
Cita-Cita Politik . Jakarta: UFUK.
Zar,
R. (2002). Filsafat Islam, Filosof dan
Filsafatnya. Jakrta: Raja Graphindo Persada.
[1] Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan
(Jakarta:Raja Graphindo Persada, 2002), h.1-2
[2] A.S. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (New
York: Oxford University Press, 1986), h. 646
[3] Webster’s Dictionary, New Revised Edition (Miami, Florida: PSI
Aristoteles Inc, 1987), h. 285
[4] M. Amin Rais, Cakrawala Islam, antara Cita dan Fakta,
h. 27
[5] A. Rahman Zainudin, Ilmu Sejarah, Sosial dan Politik dalam
Taufik Abdullah (eds.), Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban, IV (Jakarta:Ichtiar Baru,
2002), h. 269
[6] Bertarnd Russel, Religion and Science, diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia oleh Ruslan dengan Judul: Perjumpaan Sains-Agama dan Cita-Cita Politik (Jakarta:UFUK Press,
2005), h. 271
[7] I.R Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Fisafat
(Jakarta:Pembangunan, 1978), h. 27-28
[8] J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato (Jakarta:Rajawali, 1993),h. 63
[9] Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat (Jakarta: Raja
Graphindo Persada, 1995), h. 9
[10] Muhammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: Tintamas,
1986), h. 135-136
[11] Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang.
1975), h. 87-90
[12] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Raja Graphindo
Persada, 2002), h. 82-83
[13] Poerwantana, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam (Bandung:
Rosda, 1988), h. 138-139
NB.Artikel ini dibuat semata untuk memberikan informasi kepada masyarakat luas dan bukan untuk tujuan komersil


Komentar
Posting Komentar